FENOMENA-FENOMENA
BERKAITAN DENGAN PSIKOLOGI DAN INTERNET
KONSEKUENSI akibat
mencontek dan plagiat sebenarnya cukup menakutkan para pelajar. Tetapi, dewasa
ini, kelihatannya para pelajar tidak terlalu mempedulikan kejujuran akademik
lagi.
Banyak siswa bahkan tidak bisa membedakan apa yang termasuk aksi plagiat dan mana yang bukan. Seperti disitat dari College Cures, Jumat (23/3/2012), hasil penelitian memperlihatkan, 71 persen siswa di Amerika Serikat (AS) tidak percaya bahwa mengkopi material dari internet adalah "aksi mencontek yang cukup serius".
Hasil survei ini menunjukkan, satu dari tiga pelajar mengaku, menggunakan internet untuk memplagiat tugas. Kemudian, hanya 29 persen orang berpikir bahwa menyalin dari website adalah "mencontek yang sangat serius". Angka ini turun cukup jauh dari sepuluh tahun yang lalu, yakni 34 persen.
Banyak siswa bahkan tidak bisa membedakan apa yang termasuk aksi plagiat dan mana yang bukan. Seperti disitat dari College Cures, Jumat (23/3/2012), hasil penelitian memperlihatkan, 71 persen siswa di Amerika Serikat (AS) tidak percaya bahwa mengkopi material dari internet adalah "aksi mencontek yang cukup serius".
Hasil survei ini menunjukkan, satu dari tiga pelajar mengaku, menggunakan internet untuk memplagiat tugas. Kemudian, hanya 29 persen orang berpikir bahwa menyalin dari website adalah "mencontek yang sangat serius". Angka ini turun cukup jauh dari sepuluh tahun yang lalu, yakni 34 persen.
Perilaku
pelajar tentang mencontek juga cukup memprihatinkan. Ini terlihat dari 57
persen pelajar tidak berpikir bahwa menyalin beberapa kalimat tanpa pencantuman
sumber yang memadai, berbagi jawaban ujian, atau mendapatkan jawaban dari teman
yang sudah mengerjakan ujian adalah tindakan mencontek.
Selain itu, 53 persen siswa berpikir, mencontek bukanlah hal besar yang perlu diributkan, serta 34 persen pelajar mengaku, orangtuanya tidak pernah berbicara kepada mereka tentang mencontek. Parahnya lagi, 98 persen siswa mempersilakan teman menyalin tugas mereka.
Generasi yang melek teknologi ini bisa dikatakan sebagai generasi pencontek. Buktinya, 75 persen siswa yang disurvei mengaku pernah mencontek pada ujian, tugas, dan pekerjaan rumah yang mereka kerjakan. Bahkan, 34 persen di antaranya pernah mencontek lebih dari dua kali.
Kebiasaan mencontek di sekolah juga mempengaruhi kebiasaan mencontek di kampus. Hasil survei yang menyertakan alumni perguruan tinggi ini memperlihatkan, 82 persen alumni mengaku pernah terlibat dalam berbagai kegiatan mencontek ketika kuliah. Dan sedihnya, generasi berikutnya cenderung lebih banyak berbohong dan mencontek daripada generasi berikutnya.
Selepas kuliah pun, para individu pencontek ini terus membawa kebiasaan buruk mereka dalam hidup. Pebisnis misalnya, punya tendensi tiga kali lebih banyak berbohong kepada pelanggannya. Kemungkinan mereka berbohong kepada atasannya juga dua kali lebih besar, serta kecenderungan berbohong pada pasangan satu setengah kali lebih kuat.
Jika mengurut kepada hulu masalah ini, para siswa mencontek biasanya dipengaruhi tekanan kelompok teman sebaya mereka. Tetapi, jika dilihat sebaliknya, tekanan peer group ini juga dapat melibatkan siswa dalam budaya jujur secara akademis dan memotong rantai kecurangan.
Selain itu, 53 persen siswa berpikir, mencontek bukanlah hal besar yang perlu diributkan, serta 34 persen pelajar mengaku, orangtuanya tidak pernah berbicara kepada mereka tentang mencontek. Parahnya lagi, 98 persen siswa mempersilakan teman menyalin tugas mereka.
Generasi yang melek teknologi ini bisa dikatakan sebagai generasi pencontek. Buktinya, 75 persen siswa yang disurvei mengaku pernah mencontek pada ujian, tugas, dan pekerjaan rumah yang mereka kerjakan. Bahkan, 34 persen di antaranya pernah mencontek lebih dari dua kali.
Kebiasaan mencontek di sekolah juga mempengaruhi kebiasaan mencontek di kampus. Hasil survei yang menyertakan alumni perguruan tinggi ini memperlihatkan, 82 persen alumni mengaku pernah terlibat dalam berbagai kegiatan mencontek ketika kuliah. Dan sedihnya, generasi berikutnya cenderung lebih banyak berbohong dan mencontek daripada generasi berikutnya.
Selepas kuliah pun, para individu pencontek ini terus membawa kebiasaan buruk mereka dalam hidup. Pebisnis misalnya, punya tendensi tiga kali lebih banyak berbohong kepada pelanggannya. Kemungkinan mereka berbohong kepada atasannya juga dua kali lebih besar, serta kecenderungan berbohong pada pasangan satu setengah kali lebih kuat.
Jika mengurut kepada hulu masalah ini, para siswa mencontek biasanya dipengaruhi tekanan kelompok teman sebaya mereka. Tetapi, jika dilihat sebaliknya, tekanan peer group ini juga dapat melibatkan siswa dalam budaya jujur secara akademis dan memotong rantai kecurangan.
Setiap orang
suka bermain, khususnya bermain permainan yang ada pada komputer. Game
online saat ini sedang digemari oleh semua orang. Anak remaja dari usia
sekolah hingga yang sudah lulus sekolah menjadi salah satu pelaku permainan
jaringan ini. Bolos sekolah, memakai uang bayaran sekolah, dan tidak pulang ke
rumah menjadi aktifitas yang biasa terjadi saat remaja tergila-gila akan game
online. Uang bayaran sekolah terbuang dan terkorupsi oleh anak-anak remaja
demi memuaskan hasrat bermain game. Kini game online yang
bervariasi menambah minat orang-orang untuk terus bermain dan menjadi
pemain-pemain baru. Bukan 1-2 jam saja anak muda itu nongkrong di depan layar
komputer, namun bisa berjam-jam hingga menginap di tempat permainan tersebut.
Terlintas dalam benak pikiran, “Darimana mereka mendapatkan uang untuk bermain
permainan jaringan yang begitu lama ini?”. Pada umumnya tarif satu jam bermain
adalah Rp.2000,00 dan terdapat paket khusus seperti paket 3 jam, paket 5 jam,
paket 10 jam, paket pagi/malam, dan paket seharian.
Bagi kaum remaja, bermain permainan
seperti ini lebih menyenangkan daripada belajar. Membolos sudah sering
dilakukan karena mereka bermain sambil mengenakan seragam saat jam sekolah.
Percakapan tidak sengaja membuat remaja terlontar kalimat “lebih asyik bermain
game daripada belajar”. Hal lain yang menyedihkan adalah saat diketahui banyak
remaja meminta uang untuk keperluan sekolah namun ternyata dipakai untuk
bermain game online. Beberapa jenis permainan yang sering dimainkan
seperti Point Blank, Lost Saga, Seal Online, Dota, Ragnarok dan
Getamped. Permainan jaringan seperti ini memang bukan hal baru, namun
memiliki dampak yang besar bagi remaja.
Remaja yang sering bermain permainan
dalam dunia maya ini sering mengalami berbagai masalah. Salah satu masalahnya
adalah menurunnya nilai prestasi akademik akibat kurang belajar dan
menghabiskan waktu seharian untuk bermain. Remaja ini sering menginap di tempat
permainan untuk bermain seharian bersama kerabat-kerabatnya. Permainan game
online ini seakan telah menghipnotis remaja di Indonesia.
Uang dan waktu yang terbuang untuk
bermain game seakan tidak disesali oleh kaum remaja pecinta game
online. Seiring perkembangan zaman, permainan seperti ini memang terus
mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini juga didukung dengan maraknya warnet
(warung internet) dan lomba-lomba, baik itu lomba biasa hingga lomba tingkat
nasional atau internasional. Hadiah yang ditawarkan bahkan mencapai puluhan
juta atau barang tertentu dalam permainan.
Suara keras dari game-game online
yang sedang dimainkan dan suara tawa serta teriakan akan terdengar ketika
memasuki ruangan permainan. Ruangan yang dipenuhi dengan komputer dan anak-anak
yang sedang bermain game berjejer rapi seakan berbaris, namun sibuk
menatap layar di depan mata. Sesekali terdengar teriakan atau suara keras baik
dari pemain atau penonton yang menambah ramai seperti pasar akibat pengaruh
kegirangan atau kekesalan dari bermain. Remaja penerus bangsa yang seharusnya
sibuk membaca buku dan menimba pengetahuan kini lebih sering menghabiskan waktu
bermain permainan dalam dunia maya ini.
Game online memang menjadi ajang rekreasi sekaligus menjadi ajang
keburukan dalam hal tertentu bagi segelintir orang. Para pria berpendidikan ini
seakan tidak peduli akan hasil nilai selama mereka bisa menikmati kesenangan
dan sensasi dalam permainan. Uang SPP yang terpakai seakan tidak terpikirkan
selama mereka bisa bermain. Bila narkoba berbahaya hingga bisa meninggal, maka
bermain permainan seperti ini secara berlebihan bisa berbahaya meski dalam
aspek lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar